Home » » Aku Ingin Mengepakkan Sayap ke Bulan...

Aku Ingin Mengepakkan Sayap ke Bulan...

Written By SANUSA on Rabu, 08 Agustus 2012 | 19.24

        Karya Oleh: Novamour

aku ingin mengepakkan sayap ke bulan...
berteman dengan  samudra, memutari negri-negri impian, menghijrahkan mimpiku ke dunia nyata, menggenggam dunia, dan memetik jutaan bintang yang bertebaran di langit untuk menjadi kerlipan nan indah di kedalaman hatiku...


Milya, gadis polos datang dari sebuah kota kecil di pojok salah satu provinsi di pulau Jawa yang cenderung pendiam namun selalu berteman dengan sejuta rangkaian angan dan mimpi diotak nya. Merantau ke sebuah kota yang tentu lebih besar dari kota kelahirannya. Kota yang lebih metropolitan pastinya. Tujuannya hanya satu. Ingin mengembangkan diri dan kehidupannya. Ia menyadari bahwa dirinya takkan berkembang jika hanya berdiam diri di kota kecilnya. Hanya mematung tanpa gubrakan berarti. Hanya terpaku menangkap semua karyanya menjadi seonggok sampah tak bernilai. Ia ingin sebuah perubahan memeluknya.
Maka ia pun memutuskan merantau untuk menjadi seorang mahasiswi disebuah universitas yang cukup mempunyai nama. Sebuah tekad bulat tertancap erat dibenaknya  bahwa ia akan menjadi seorang Milya yang jauh lebih baik.
Dan benar saja, tekadnya ia aplikasikan dalam kesehariannya di kota perantauan. Ia terus mengorek sejumlah informasi yang ia rasa penting untuk mengembangkan dirinya. Lebih sering menghabiskan kesehariannya di kampus bersama teman-temannya. Sepulangnya ia langsung menjelajah dunia maya mencari jawaban atas semua hal-hal yang membuatnya penasaran sambil sesekali menelusuri alam facebook.
Hari semakin berlomba untuk secepat mungkin. Kehidupan gadis lugu ini perlahan demi perlahan mulai berkembang. Tidak hanya tahu tentang satu hal atau terpaku pada sesuatu saja. Lebih dari itu, ia mulai mengenal dunia yang semakin mengglobal. Juga mulai terbiasa dengan hiruk-pikuk orang-orang kota yang menyrempet ke arah dunia bebas tanpa kendali. Seperti sudah tidak tercengang lagi kala matanya menangkap seorang wanita yang sedang ayik mengepulkan asap dari puntungan rokok ditanganya. Atau telinganya menangkap logat anak-anak Jakarta dengan bahasa loe-gue nya. Semuanya seolah sudah turut berbaur berkolaborasi jadi satu dengan hidupnya.
Ia sadar bahwa inilah saatnya ia terbang ke tempat manapun yang ia mau. Inilah saatnya ia melangkahkan kedua kaki menuju hamparan seindah yang ia inginkan. Tanpa ada siapapun yang membatasi geraknya. Terkadang ia berfikir bahwa begitu bedanya hidupnya dulu dengan sekarang. Dimana ketika ia masih dalam rangkulan erat orang tuanya yang mengharuskan ia menuruti segala yang mereka titahkan. Dimana ia tergagap-gagap untuk menyuarakan apa yang ia mau. Dimana ia harus sekuat tenaga menahan diri ketika ia ingin mengunjungi suatu tempat bersama dengan teman-teman sekolahnya.
Namun sekarang semua berubah. Ia tak lagi ada dalam rangkulan erat kedua orang tuannya yang baginya terlalu mengekangnya. Ia bisa menjelajah kemanapun ia mau tanpa harus memelas memohon izin orang tuanya. Ia bisa pergi sesuka hati dengan teman manapun yang ia mau. Tanpa harus memikirkan gertakan ayah atau ibunya. Ia merasa jauh lebih bebas.
Tapi ia juga tahu, bahwa kebebasan yang ia dapatkan bukanlah bebas sebebas-bebasnya. Bukanlah bebas tanpa kontrol. Bukanlah bebas menyalurkan hura-hura. Ia memaknai kebebasan ini untuk ia bisa menggepakkan sayapnya setinggi mungkin. Meski jauh dari pantauan orang tua,tapi ia tetaplah Milya seorang gadis yang diberi amanah untuk menimba ilmu dan pulang dengan mereguk kesuksesan. Ia juga sadar, bahwa kedatanganya bukanlah untuk sekedar bermain menikmati indahnya dunia anak muda. Ia tahu orang tuanya membanting tulang untuk menguliahkan dia di tempat yang jauh lebih baik. Ia selalu memegang amanah yang dipikulnya itu.
Selain itu, ia pun telah merangkai mimpi sejuta keindahan yang selalu terbingkai apik dalam memorinya. Mimpi yang selalu menjadi penyemangatnya. Mimpi yang menorehkan kebahagiaan tersendiri yang hanya mampu ia pahami.
Ia telah merajut angan untuk masa depannya kelak. Ia ingin jadi apa, ingin berdomisili dimana, berpenghasilan berapa hingga impian untuk memutari tanah Eropa dengan orang-orang yang ia cintai. Semuanya sudah ia angankan. Mimpi-mimpinya itulah yang menjadi acuan untuk menjalani hari-harinya.
Namun sebuah pertentangn batin mulai menghampirinya ketika pemikiranya ditentang oleh ibu dan neneknya tercinta. Kedua wanita yang sangat ia hormati itu seolah tak sejalan dengan segala pemikirannya. Ia mengatakan bahwa ia ingin melanjutkan kehidupannya di kota perantauannya. Ia ingin menikah dengan orang sana. Ia ingin berkarir di sana. Ia juga mengatakan bahwa ia tidak ingin kembali ke kota aslinya untuk melanjutkan hidupnya, karena menurutnya ia takkan berkembang jika kembali ke kota kelahirannya.
Ibunya mungkin tidak secara gamblang menentang impiannya. Tetapi neneknya lah yang dengan tanpa perantara mengatakan bahwa ia seharusnya kembali ke kotanya setelah selesai menempuh kuliah. Neneknya menyarankan ia untuk bekerja di kota aslinya juga berumah tangga.
Masih ia ingat betul perkataan sang nenek yang terus menghantuinya:
“ Kamu itu anak putri satu-satunya orang tuamu. Anak pertama juga. Sebaiknya setelah kamu selesai kuliah,kamu cepat kembali ke sini. Cari kerja disini dan kalau bisa menikah dengan orang sini saja. Tidak usah cari jodoh orang jauh. Ya memang jodoh ditangan Tuhan, tapi kamu berusahalah untuk menikah dengan orang sini saja.”
Lalu Milya katakan:
“ Tapi Nek, aku tidak ingin kembali kesini lagi untuk kedepannya. Aku ingin tetap disana. Kerja disana. Menikah dengan orang sana. Karena jurusan yang aku ambil ini orientasinya ya di kota-kota besar. Kalau disini susah..”
Nenekpun kembali membalas:
“ Rezeki itu sudah ada yang mengatur. Kalau Tuhan memberi kamu rezeki disini yang jalanmu akan mudah disini. Kamu lihat mbak Firoh. Dia lulusan luar kota tapi sekarang pada kenyataanya bisa sukses kerja disini. Suaminya juga mau diajak berumah tangga disini.”
“ Tapi aku ingin bekerja disana. Aku ingin melanjutkan hidup disana,Nek...” Rengekku layaknya anak kecil yang meminta permen pada mama nya.
“ Apa kamu tidak kasihan dengan ibumu? Kamu anak perempuan satu-satunya ibumu. Sekarang ibumu juga sakit-sakitan. Ibumu terkena Diabetes yang setiap saat bisa membutuhkan pertolongan. Kalau nanti kamu sudah selesai kuliah, berganti adikmu yang keluar kota untuk kuliah. Kamu ya harus kembali kesini untuk bekerja sekaligus menjaga ibumu!Kalau bukan kamu lalu siapa lagi?”
Milya terdiam bungkam tanpa kata setelah neneknya usai mengatakan itu. Ibunya sakit. Iya memang belakangan ini ibunya sering mengeluh sakit, pegal dan sebagainya. Ia pun tahu bahwa ibunya mengidap Diabetes meski belum cukup parah.
Setetes air mata mengawali menjamah pipinya dengan lembut. Meruntuhkan semua asanya. Merobekkan perasaanya jika kembali mengingatnya. Lagi-lagi kata-kata neneknya kembali terngiang dikepalanya:
“ Kasihan ibumu. Dia membutuhkan anak perempuannya. Apa kamu sampai hati membiarkan ibumu sakit sedangkan kamu asyik bekerja jauh dari dia? Kelak ibumu membutuhkan anaknya untuk merawatnya. Jangan hanya menuruti ego mu saja.”
Tapi lagi-lagi Milya juga membantah secara halus:
“Nenek, Milya ingin berkarir di kota besar. Milya ingin meraih cita-cita Milya..”
“ Tidak usah berfikir terlalu jauh seperti itu. Lebih baik kamu menjadi guru saja disini. Nenek rasa guru itu pekerjaan yang terbaik untuk seorang wanita. Kehidupannya bisa terjamin. Kamu juga bisa bekerja sambil menemani ibumu nantinya..”
Milya memutar otaknya. Menjadi guru? Memang itu adalah pekerjaan yang mulia tapi bukan berarti terbaik untuk seorang wanita. Ia sadar bahwa ternyata pemikiran neneknya itu masih terlalu kolot. Seolah neneknya masih hidup di zaman dulu pula. Dalam pikiran Milya, ini adalah zaman globalisasi. Zaman modern dimana emansipasi wanita menjadi trend. Wanita tidak dibatasi dalam hal pendidikan ataupun pekerjaan. Wanita boleh berpendidikan setinggi mungkin dan mendapat pekerjaan sebaik mungkin. Tidak harus lurus kedepan mengikuti trend zaman dulu dimana wanita menjadi guru adalah wanita yang paling beruntung sedunia.
Saat ini wanita juga boleh menjadi Direktur, Manager, atau apa saja sesuai kemampuan dan pendidikannya. Tentu tidak ada yang tidak mungkin. Milya berfikir buat apa ia jauh-jauh menimba ilmu di kota besar tetapi pada akhirnya harus kembali menjadi seorang guru di kota kecilnya? Ya memang tidak ada yang salah tapi kalau ada yang lebih baik kenapa tidak mengambil yang lebih baik itu?
Milya tidak ingin hanya menjadi guru biasa di kota kecil. Ia ingin menjadi seseorang yang jauh lebih baik. Ia tidak mau terlalu disetir keluarganya untuk menggeluti pekerjaan turun-temurun dari keluarganya yakni guru. Baginya, meskipun sebagian besar keluarganya adalah seorang guru, ia tidak wajib untuk mengikutinya. Ia bebas menentukan masa depannya sendiri karena ini adalah hidup dan jalannya.
Ia juga berpikir, kalau ia jadi guru, tentu tidak langsung bisa meraih kesuksesan seperti yang ada ia impikan. Tentu memeerlukan proses sangat panjang. Ia bercermin pada orang tuanya yang menggeluti profesi menjadi guru selama hampir dua puluh tahun, dan akhir-akhir ini baru bisa merealisasikan sedikit demi sedikit mimpi-mimpi mereka. Merenovasi rumah, membeli mobil atau yang lain.
Sedangkan dalam otak Milya, ia ingin sukses di usia muda dengan menjadi seorang pebisnis atau pekerja kantoran di perusahaan besar di kota besar pula. Karena ia mempunyai mimpi-mimpi yang besar. Ia ingin menginjakkan kaki di tanah Eropa, mengelilingi negara-negara maju untuk lebih belajar lagi, dan yang pasti ia juga ingin menggantikan posisi orang tuanya untuk bisa membiayai pendidikan kedua adiknya setinggi-tingginya. Ia ingin kedua adiknya juga mendapatkan pendidikan yang jauh lebih baik dari dirinya. Dan yang terpenting dari semua itu, satu keinginan mulianya adalah memberangkatkan kedua orang tuanya untuk mengunjungi Ka’bah di Mekkah.
Tentu semua itu membutuhkan kesuksesan lebih awal. Jika menjadi guru, sangat panjang proses yang harus ia tempuh. Harus mendedikasikan waktunya belasan tahun. Bukan berarti menjadi seorang pebisnis bisa meraih kesuksesan secara instan. Tapi minimal peluang sukses lebih cepat itu masih sangat terbuka lebar.
Namun sekali lagi, pertikaian batin itu terjadi ketika ia mengingat ucapan neneknya. Ia bingung. Manakah yang harus ia pilih? Mimpi dan impian besarnya ataukah kota kecilnya yang terlihat ibunya melambai-lambai agar ia kelak akan kembali lagi?
Tentu ia ingin memilih keduanya. Merealisasikan mimpi-mimpinya juga tetap berada disisi keluarga yang amat ia cintai itu.
Entahlah, pemikiranya itu masih terlalu dini untuknya mengingat dirinya masih dalam lingkup usia belasan tahun... tapi hal itu kerap menganggu tidurnya. Berkelebat dalam bayanganya...
Rasanya ia ingin meneriakkan semua isi hatinya bahwa ia tidak ingin terus-menerus disetir oleh meraka! Ia berhak menentukan masa depannya sendiri! Ia berhak memutuskan dimana ia ingin melanjutkan hidupnya atau dengan siapa ia akan melanjutkan umurnya!
Rasa dilematis tentu kerap menyambanginya setiap saat. Pilihan antara mimpi dan ibunya. Disatu sisi, ia ingin mereguk kesuksesan mimpi-mimpinya. Tapi disisi lain, ibunya seolah menitikkan air mata kesedihan melihat ia dan ibunya harus terpisahkan oleh jarak.
Lagi dan lagi air matanya jatuh perlahan dan mulai deras saja. Ia membayangkan sang ibu jika tergolek tak berdaya mengharapkan kehadirannya. Namun, ia juga membayangkan impiannya sudah menanti untuk digenggamnya.....
Ia pun melangkahan kaki menyusuri sebuah pantai berpasir saat ini. Ia melentangkan kedua tanganya. Menghirup dalam-dalam udara khas pantai. Memejamkan kedua matanya. Kemudian sebuah teriakan keras tertangkap telinganya.
“Aku ingin mengepakkan sayap ke bulan.........”
Ia membuka mata setelah suaranya ia dengar cukup keras berharap sang ombak mendengar dan memberinya jawaban.
Ia menatap hamparan laut tanpa batas dengan berteman ombak yang selalu mencumbui bebatuan teman setia sang pantai.
Debur sang ombak terdengar disela-sela suara samar sebuah isak tangis seseorang....
“ Sungguh aku ingin terbang ke bulan...”
Isaknya kian menjadi .......
Entahlah pilihan mana yang akan ia pilih. Antara ego dan pengabdiannya. Dua hal yang sulit ia pilih dalam hidupnya. Akhirnya ia pun hanya bisa menyerahkan semuanya pada Sang Penentu dari segala rencana. Entah apa yang akan terjadi padanya suatu hari nanti, ia masih buta tentunya. Ia hanya ingin yang terbaiklah yang menjadi pilihannya nanti...
Air mata kini masih setia menemaninya...

Sekian
Share this article :

Posting Komentar